Sanksi Administratif yang Dapat Dikenakan Jika Terjadi Ketidaksesuaian dalam Pemungutan atau Pelapor

Ulasan singkat mengenai sanksi administratif atas ketidaksesuaian dalam pemungutan dan pelaporan PPN dan PPnBM.

18 November 2025

Klinik Akuntansi Pajak

Sanksi Administratif yang Dapat Dikenakan Jika Terjadi Ketidaksesuaian dalam Pemungutan atau Pelaporan PPN dan PPnBM

I. Pendahuluan

Penting bagi setiap Wajib Pajak untuk memahami perbedaan antara Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Meskipun keduanya sama-sama merupakan pajak tidak langsung yang dikenakan atas konsumsi barang dan/atau jasa, PPN dan PPnBM memiliki karakteristik yang berbeda, mulai dari tarif, subjek, hingga objek pajaknya. Pemahaman yang tepat mengenai kedua jenis pajak ini sangat diperlukan agar proses pemungutan, penyetoran, dan pelaporannya dapat dilakukan secara benar.

Ketidaksesuaian dalam pemungutan atau pelaporan PPN dan PPnBM dapat menimbulkan berbagai risiko, seperti sanksi administratif, koreksi fiskus, atau beban pajak tambahan bagi pelaku usaha. Oleh karena itu, pengetahuan tentang aturan dan kewajiban perpajakan menjadi aspek penting untuk memastikan kepatuhan serta menghindari potensi permasalahan di kemudian hari.

II. Dasar Hukum PPN dan PPnBM

Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) di Indonesia didasarkan pada sejumlah regulasi yang saling melengkapi. Dasar hukum utamanya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM, yang telah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan terakhir dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menyempurnakan ketentuan tarif, objek pajak, dan mekanisme pemungutan.

Ketentuan mengenai prosedur pembayaran, pelaporan, serta sanksi administratif diatur dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang juga telah diperbarui melalui UU HPP. Pelaksanaan teknis PPN dan PPnBM dijabarkan lebih lanjut melalui berbagai Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), serta Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER) yang mengatur penggunaan faktur elektronik, penomoran faktur, klasifikasi barang mewah, dan tata cara pelaporan.

III. Jenis Sanksi Administratif

1. Sanksi Bunga
Dikenakan atas kekurangan bayar atau keterlambatan penyetoran.

2. Sanksi Administratif 2%
Dikenakan apabila PKP terlambat membuat Faktur Pajak atau membuatnya tidak sesuai waktu.

3. Denda Pelaporan SPT Masa
Denda sebesar Rp500.000 atas keterlambatan pelaporan SPT Masa PPN.

4. Sanksi 1% dari DPP
Dikenakan jika PKP tidak membuat Faktur Pajak sama sekali.

5. Sanksi atas Faktur Pajak Tidak Lengkap atau Tidak Sesuai
Faktur Pajak yang tidak memenuhi ketentuan formal dianggap tidak sah dan dapat menimbulkan koreksi serta sanksi tambahan.

IV. Contoh Kasus Sederhana

1. Terlambat Membuat Faktur Pajak
PKP melakukan penyerahan BKP pada tanggal 10, tetapi baru membuat Faktur Pajak pada tanggal 15. Karena melewati batas waktu, PKP dikenai sanksi administratif sebesar 2% dari DPP.

2. Kesalahan Melaporkan DPP
PKP melaporkan DPP lebih rendah dari nilai sebenarnya. Setelah dilakukan pemeriksaan, ditemukan kekurangan pembayaran yang dikenai sanksi bunga hingga tanggal pelunasan.

V. Upaya Pencegahan

1. Melakukan rekonsiliasi data secara berkala untuk memastikan kesesuaian pencatatan.
2. Menggunakan sistem e-Faktur dan e-SPT sesuai ketentuan.
3. Menyusun prosedur internal terkait pembuatan Faktur Pajak, pencatatan transaksi, dan pelaporan.
4. Memberikan pelatihan rutin kepada staf perpajakan agar selalu mengetahui pembaruan aturan.

Universitas Sebelas Maret