
Dasar Aturan Pembukuan Menurut UU KUP
Pasal 1 angka 29 UU KUP menyebutkan bahwa pembukuan merupakan proses pencatatan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan. Pencatatan ini mencakup:
- Harta
- Kewajiban
- Modal
- Penghasilan dan biaya
- Harga perolehan dan penyerahan barang/jasa
Pada akhir periode tahun pajak, pembukuan harus ditutup dengan menyusun laporan keuangan, berupa neraca dan laporan laba rugi, untuk periode tahun pajak tersebut.
Pentingnya Pembukuan untuk Perpajakan
Pembukuan memiliki fungsi yang sangat vital bagi Wajib Pajak (WP), antara lain:
1) Mempermudah WP dalam mengisi Surat Pemberitahuan (SPT).
2) Mempermudah perhitungan penghasilan kena pajak (PKP).
3) Memberikan informasi tentang posisi keuangan dan hasil usaha yang bermanfaat untuk analisis maupun pengambilan keputusan ekonomi perusahaan.
4) Membantu WP memantau arus kas, utang, piutang, dan laba rugi secara lebih akurat.
5) Menjadi bukti otentik dalam hal terjadi pemeriksaan pajak oleh otoritas perpajakan.
Pihak yang Wajib Melakukan Pembukuan
Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) UU KUP jo. Pasal 14 ayat (1) UU PPh No. 36 Tahun 2008, pihak yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:
- WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto ≥ Rp 4,8 miliar dalam satu tahun.
- WP Badan, tanpa memandang jumlah peredaran brutonya.
Sementara itu, WP Orang Pribadi dengan omzet di bawah Rp 4,8 miliar diperbolehkan menggunakan pencatatan sederhana sebagai pengganti pembukuan.
Ketentuan dalam Menyelenggarakan Pembukuan
Agar pembukuan sah dan sesuai aturan, terdapat beberapa ketentuan yang harus dipenuhi:
1. Diselenggarakan dengan itikad baik serta mencerminkan kondisi atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Disusun di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, serta bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
3. Mengikuti prinsip taat asas, dengan metode stelsel akrual atau stelsel kas.
4. Setiap perubahan metode pembukuan atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
5. Minimal berisi catatan tentang:Harta,Kewajiban,Modal,Penghasilan dan biaya,Penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
6. Pembukuan dalam bahasa asing dan mata uang selain Rupiah hanya boleh dilakukan dengan izin khusus dari Menteri Keuangan.
Batas Penyampaian SPT
1. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi: paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak.
2. SPT Tahunan PPh Badan: paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.
Apabila batas waktu tersebut terlewat, WP dapat mengajukan perpanjangan waktu dengan alasan yang sah serta menyampaikan pemberitahuan kepada DJP.
Sanksi Jika Tidak Menyelenggarakan Pembukuan
Wajib Pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan sesuai ketentuan dapat dikenakan konsekuensi, antara lain:
- Pengenaan sanksi administrasi berupa denda atau bunga.
- Koreksi fiskal oleh DJP karena tidak adanya bukti pencatatan yang sah.
- Pajak terutang dapat ditetapkan secara jabatan oleh DJP dengan metode tertentu yang seringkali lebih tinggi dari perhitungan WP sendiri.
Kesimpulan
Pembukuan bukan hanya kewajiban formal yang diatur dalam UU KUP, tetapi juga merupakan sarana penting untuk mengelola keuangan dan memastikan kepatuhan pajak. Dengan pembukuan yang baik, Wajib Pajak dapat lebih mudah menghitung pajak terutang, memenuhi kewajiban pelaporan, serta menghindari sanksi perpajakan.