Perspektif Akuntansi Pajak dalam Jenis dan Usaha Koperasi

Aspek perpajakan pada jenis, tingkatan, dan usaha koperasi

15 September 2025

Klinik Akuntansi Pajak

Memahami Jenis, Tingkatan, dan Usaha Koperasi dari Sudut Pandang Akuntansi Pajak 

Memahami Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian khususnya Pasal 82-87 tentang jenis, tingkatan, dan usaha koperasi, menjadi sangat penting bagi akuntan pajak. Pasal-pasal ini tidak hanya mengatur operasional koperasi, tetapi juga memiliki implikasi signifikan terhadap perlakuan akuntansi dan kewajiban perpajakan mereka.

 

Jenis Koperasi: Implikasi Pajak Berbeda-beda

Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2012 Pasal 82-85, jenis koperasi ditentukan oleh Anggaran Dasar dan kesamaan kegiatan usaha anggotanya. Setiap jenis koperasi memiliki karakteristik bisnis yang berbeda, yang secara langsung memengaruhi cara mereka mencatat transaksi dan menghitung pajak.

 

  1. Koperasi Konsumen: Dari sisi akuntansi pajak, pendapatan koperasi konsumen berasal dari penjualan barang. Koperasi ini dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) atas laba dari penjualan tersebut. Selain itu, mereka wajib memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jika omzetnya melebihi batasan yang ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
  2. Koperasi Produsen: Koperasi ini membantu anggotanya dalam pengadaan bahan baku, sarana produksi, dan pemasaran hasil produksi. Dalam akuntansi pajak, mereka harus cermat memisahkan pendapatan dari anggota dan non-anggota, karena perlakuan pajak atas Sisa Hasil Usaha (SHU) yang dibagikan ke anggota bisa berbeda.
  3. Koperasi Jasa: Koperasi ini menyediakan berbagai layanan, seperti angkutan, pariwisata, atau konsultasi, kecuali jasa simpan pinjam. Dari sudut pandang pajak, pendapatan mereka berasal dari jasa yang diberikan. Kewajiban pajak mereka mencakup PPh Badan atas laba dari penyediaan jasa dan PPN atas penyerahan jasa yang dikenai pajak.
  4. Koperasi Simpan Pinjam (KSP): Pendapatan utama KSP berasal dari bunga pinjaman yang diberikan. Secara akuntansi, mereka harus teliti dalam pencatatan pendapatan bunga dan biaya yang terkait. Mereka memiliki perlakuan pajak khusus, terutama terkait PPh Final atas bunga dari simpanan anggota dan non-anggota, serta kewajiban PPh Badan atas penghasilan lainnya.

 

Tingkatan Koperasi: Dampak pada Konsolidasi Keuangan

Pasal 86 memungkinkan koperasi untuk membentuk atau bergabung dengan Koperasi Sekunder. Ini menciptakan struktur organisasi yang lebih kompleks, di mana koperasi-koperasi primer menjadi anggota dari koperasi sekunder. Dalam akuntansi, hal ini menimbulkan isu terkait konsolidasi laporan keuangan.

Dari perspektif akuntansi pajak, pertanyaan yang muncul adalah apakah entitas-entitas ini harus dihitung pajaknya secara terpisah atau terkonsolidasi. Sesuai ketentuan perpajakan di Indonesia, setiap entitas koperasi, baik primer maupun sekunder, adalah subjek pajak yang berdiri sendiri. Oleh karena itu, masing-masing harus melaporkan dan membayar pajaknya sendiri berdasarkan laba yang mereka peroleh. Koperasi sekunder juga wajib memungut dan menyetorkan PPN atas transaksi yang mereka lakukan, sama seperti koperasi primer.

 

 

Usaha Koperasi: Perlunya Pencatatan yang Akurat

Pasal 87 menegaskan bahwa kegiatan usaha koperasi harus sesuai dengan jenisnya yang tercantum dalam Anggaran Dasar. Koperasi juga dapat bermitra dengan pelaku usaha lain atau bahkan menjalankan bisnis berdasarkan prinsip syariah. Fleksibilitas ini memerlukan pencatatan akuntansi yang sangat akurat.

 

  1. Pemisahan Akun: Jika koperasi menjalankan usaha di luar kegiatan utamanya (misalnya, KSP yang juga membuka toko kelontong), akuntan pajak harus memisahkan pencatatan pendapatan dan biaya dari setiap lini usaha. Hal ini penting untuk memastikan penghitungan PPh yang akurat, karena tarif pajak atau perlakuan pajak untuk setiap jenis usaha mungkin berbeda.
  2. Kemitraan Usaha: Ketika koperasi bermitra dengan pelaku usaha lain, perlu dipastikan bahwa skema pembagian laba atau bagi hasil dicatat dengan benar dan sesuai dengan perjanjian. Hal ini akan memengaruhi penghitungan laba bersih koperasi yang menjadi dasar pengenaan PPh.
  3. Prinsip Syariah: Koperasi yang menjalankan usaha berdasarkan prinsip ekonomi syariah (seperti Koperasi Syariah) memiliki model akuntansi dan laporan keuangan yang berbeda. Mereka menggunakan prinsip bagi hasil (mudharabah atau musyarakah) sebagai pengganti bunga. Akuntan pajak harus memahami perbedaan ini dan memastikan bahwa perlakuan perpajakannya sesuai dengan regulasi yang berlaku.

 

Secara keseluruhan, pemahaman mendalam tentang UU No. 17 Tahun 2012 Pasal 82-87 adalah pondasi krusial bagi akuntan pajak yang bekerja dengan koperasi. Dengan memahami kerangka hukum ini, mereka dapat memastikan bahwa koperasi tidak hanya beroperasi sesuai aturan, tetapi juga memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar dan efisien, menghindari risiko sanksi dan denda.

Universitas Sebelas Maret